MEKANISME PASAR DALAM ISLAM
0
KONSEP PASAR
DALAM ISLAM
Disusun Oleh:
Amanda Erica
Prakasiwi
(E2A015023)
Fransiska Novita Maria Santika
(E2A015022)
Mery Avita
Candravoni
(E2B015021)
Devi Ima Zeni
Lestari
(E2B015023)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015/2016
MEKANISME PASAR DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM
Pasar, negara, individu dan masyarakat
selalu menjadi diskursus hangat dalam ilmu ekonomi. Menurut ekonomi
kapitalis (klasik)[1], pasar memainkan peranan yang sangat penting
dalam sistem perekonomian. Ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas untuk
menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai
distribusi. Semboyan kapitalis adalah lassez faire et laissez le monde
va de lui meme [2] (Biarkan ia berbuat dan biarkan ia
berjalan, dunia akan mengurus diri sendiri). Maksudnya, biarkan sajalah perekonomian
berjalan dengan wajar tanpa intervensi pemerintah, nanti akan ada suatu tangan
tak terlihat (invisible hands) yang akan membawa perekonomian
tersebut ke arah equilibrium. Jika banyak campur tangan
pemerintah , maka pasar akan mengalami distorsi yang akan membawa perekonomian
pada ketidakefisienan (inefisiency) dan ketidakseimbangan.
Menurut konsep tersebut, pasar yang paling baik adalah
persaingan bebas (free competition), sedangkan harga dibentuk oleh
oleh kaedah shapePrinsip pasar bebas akan menghasilkan equilibrium dalam
masyarakat, di mana nantinya akan menghasilkan upah (wage) yang
adil, harga barang (price) yang stabil dan kondisi tingkat
pengangguran yang rendah (full employment). Untuk itu peranan
negara dalam ekonomi sama sekali harus diminimalisir, sebab kalau
negara turun campur bermain dalam ekonomi hanya akan menyingkirkan sektor
swasta sehingga akhirnya mengganggu equilibrium pasar. Maka
dalam paradigma kapitalisme, mekanisme pasar diyakini akan menghasilkan suatu
keputusan yang adil dan arif dari berbagai kepentingan yang bertemu di
pasar. Para pendukung paradigma pasar bebas telah melakukan berbagai
upaya akademis untuk meyakinkan bahwa pasar adalah sebuah sistem yang mandiri (self
regulating).
Sementara itu, sistem ekonomi sosialis yang dikembangkan
oleh Karl Max[3] menghendaki maksimasi peran negara.
Negara harus menguasai segala sektor ekonomi untuk memastikan keadilan
kepada rakyat mulai dari means of production sampai
mendistribusikannya kembali kepada buruh, sehingga mereka juga menikmati hasil
usaha. Pasar dalam paradigma sosialis, harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan
pemilik modal (capitalist) yang serakah sehingga monopolimeans
of production dan melakukan ekspolitasi tenaga buruh lalu
memanfaatkannya untuk mendapatkan prifit sebesar-besarnya. Karena itu equilibrium tidak
akan pernah tercapai, sebaliknya ketidakadilan akan terjadi dalam perekonomian
masyarakat. Negara harus berperan signifikan untuk mewujudkan equilibrium dan
keadilan ekonomi di pasar.
Menurut faham ini, harga-harga ditetapkan oleh pemerintah,
penyaluran barang dikendalikan oleh negara, sehingga tidak terdapat kebebasan
pasar. Semua warga masyarakat adalah ”karyawan” yang wajib ikut memproduksi
menurut kemampuannya dan akan diberi upah menurut kebutuhannya. Seluruh
kegiatan ekonomi atau produksi harus diusahakan bersama. Tidak ada usaha
swasta, semua perusahaan, termasuk usaha tani, adalah perusahaan negara (state
entreprise). Apa dan berapa yang diproduksikan ditentukan berdasarkan
perencanaan pemerintah pusat (central planning) dan
diusahakan langsung oleh negara.
Kedua ajaran sistem ekonomi di atas cukup berkembang dalam
pemikiran ekonomi kontemporer, walaupun akhirnya sistem ekonomi sosialis
mengalami kemunduran dan mulai ditinggalkan. Lalu bagaimana konsep
ekonomi Islam tentang mekanisme pasar tersebut, Bagaimana ajaran Nabi Muhammad
dan para ulama tentangnya. Bolehkah negara intervensi harga (pasar) dan
sejauhmana kebolehan tersebut. Dan apa saja jenis distorsi pasar yang dilarang
Islam. ? Inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
Mekanisme Pasar : Perspektif Islam
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada
dalam keseimbangan (iqtishad), tidak boleh adasub-ordinat, sehingga
salah satunya menjadi dominan dari yang lain. Pasar dijamin kebebasannya
dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh
ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam
kenyataannya sulit ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi
pasar tetap sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.
Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire),
tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah menyebabkan penguasaan pasar sepihak
oleh pemilik modal (capitalist) penguasa infrastruktur dan
pemilik informasi. Asymetrik informasi juga menjadi
permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam
mempunyai peran yang sama dengan dengan pasar, tugasnya
adalah mengatur dan mengawasi
ekonomi,
memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna,
informasi yang merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak
lantas menjadikannya dominan, sebab negara, sekali-kali tidak boleh mengganggu
pasar yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi
dalam sistem pasar.
Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits
Rasululllah Saw sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya
kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini terlihat dengan
jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep
mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan
sebagai berikut :
غلا السعر فسعر لنا رسول الله صلى الله
عليه و سلم :
ان الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر
وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها
اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika
itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah
engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah
yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki.
Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang
pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”[4]
Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam
hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga
itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah
menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan,
karena Allah-lah yang menentukannya.
Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar.
Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa
harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau
hukum supply anddemand.
Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang
diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible
hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak
kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible
hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan
Allah). [5]
Oleh karena harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan
permintaan di pasar, maka harga barang tidak boleh ditetapkan pemerintah,
karena ketentuan harga tergantung pada hukum supply and demand.
Namun demikian, ekonomi Islam masih memberikan peluang pada kondisi
tertentu untuk melalukan intervensi harga (price intervention) bila para
pedagang melakukan monopoli dan kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen.
Di masa Khulafaur Rasyidin, para khalifah pernah melakukan
intrevensi pasar, baik pada sisi supply maupun demand.Intrevensi
pasar yang dilakukan Khulafaur Rasyidin sisi supply ialah
mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan Umar bin Khattab
ketika mengimpor gandum dari Mesir untuk mengendalikan harga gandum di Madinah.
Sedang intervensi dari sisi demand dilakukan
dengan menanamkan sikap sederhana dan menjauhkan diri dari sifat konsumerisme. [6] Intervensi pasar juga dilakukan dengan
pengawasan pasar (hisbah). Dalam pengawasan pasar ini Rasulullah
menunjuk Said bin Said Ibnul ‘Ash sebagai kepala pusat pasar (muhtasib)
di pasar Mekkah. Penjelasan secara luas tentang peranan wilayah hisbah ini akan
dikemukakan belakangan.
Mekanisme Pasar Menurut Ilmuwan Muslim Klasik
Kajian tentang mekanisme pasar telah banyak di bahas oleh
para ulama klasik jauh sebelum para ekonom Barat membahasnya. Ulama yang
pertama kali membahas mekanisme pasar secara empirik adalah Abu Yusuf, yang
hidup di awal abad kedua Hijriyah (731-798). Dia telah membahas tentang hukum supply
and demand dalam perekonomian.
Pemahaman yang berkembang ketika itu mengatakan bahwa bila
tersedia sedikit barang, maka harga akan mahal dan bila tersedia banyak barang,
maka harga akan murah. Hal tersebut dapat digambarkan pada graik di bawah
ini.
Gambar 1
Semakin Sedikit barang, harga semakin naik
Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang
hubungan harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan. Abu Yusuf
membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataannya persediaan barang
sedikit tidak selalu dikuti dengan kenaikan harga, dan sebaliknya
persediaan barang melimpah belum tentu membuat harga akan murah. Abu
Yusuf mengatakan,” Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal, dan
kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
Adalah benar bahwa tingkat harga tidak hanya bergantung pada
penawaran semata, namun kekuatan permintaan juga penting. Oleh karena itu
kenaikan atau penurunan tingkat harga tidak selalu harus berhubungan
dengan kenaikan dan penurunan produksi saja. Dalam mempertahankan pendapat ini
Abu Yusuf mengatakan bahwa ada beberapa variabel dan alasan lainnya yang bisa
mempengaruhi, tetapi ia tidak menjelaskan secara detail, mungkin karena
alasan-alasan penyingkatan.[7] Mungkin variabel itu adalah pergeseran
dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau penimbunan
dan penahanan barang. Dalam konteks ini Abu Yusuf mengemukakan
bahwa tidak ada batasan tertentu tentang rendah dan mahalnya
harga barang. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Murah bukan karena melimpahnya
makanan, demikian juga mahal bukan disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan
mahal adalah ketentuan Allah.[8]
Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi
berkomentar, Telaahan Abu Yusuf tentang mekanisme pasar harus diterima sebagai
pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara
melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga murah.[9]
Dengan demikian meskipun Abu Yusuf tidak mengulas secara rinci
tentang mekanisme pasar (yakni tentang variabel-variabel lain), Namun
pernyataannya tidak menyangkal pengaruh supply dan demand dalam
penentuan harga.
Berbeda dengan Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah
melakukan kajian yang menyeluruh tentang permasalahan mekanisme pasar.
Dia menganalisa masalah ini dari perspektif ekonomi dan
memaparkan secara detail tentang kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi
tingkat harga. Jadi, Sekitar lima abad sebelum kelahiran Adam Smith (1776),
Ibnu Taymiyah (1258) telah membicarakan mekanisme pasar menurut Islam, Melalui
konsep teori harga dan kekuatan supply and demand dalam
karya-karyanya, seperti yang termuat dalam kitab Al-Hisbah. Padahal Ibnu
Taymiyah sama sekali belum pernah membaca buku terkenal The wealth of
Nation, karangan Bapak ekonomi Klasik, Adam Smith, karena memang Ibnu
Taymiyah lahir lima ratus tahun sebelum Adam Smith.
Ketika masyarakat pada masanya beranggapan bahwa kenaikan harga
merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari si
penjual, atau mengkin sebagai akibat manipulasi pasar, Ibnu Taymiyah langsung
membantahnya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa harga ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan (supply and demand).[10]
Dalam pandangannya yang lebih luas, Ibnu Taimiyyah lebih lanjut
mengemukakan tentang konsep mekanisme pasar didalam bukunya “Al-Hisbah
fil Islam”. Beliau mengatakan, bahwa di dalam sebuah pasar bebas
(sehat), harga dipengaruhi dan dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan (supply and demand). Suatu barang akan turun harganya
bila terjadi keterlimpahan dalam produksi atau adanya penurunan impor atas
barang-barang yang dibutuhkan. Dan sebaiknya ia mengungkapkan bahwa suatu harga
bisa naik karena adanya “penurunan jumlah barang yang tersedia” atau adanya
“peningkatan jumlah penduduk” mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan.[11]
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa naik turunnya harga tidak selalu
disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang dari penjual. Bisa jadi penyebabnya
adalah penawaran yang menurun akibat inefisiensi produksi,
penurun jumlah impor barang-barang yang diminta, atau juga tekanan pasar. [12]
Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sementara
penawaran menurun, maka harga barang akan naik. Begitu juga sebaliknya, jika
permintaan menurun, sementara penawaran meningkat, maka harga akan turun.
(kelangkaan atau melimpahnya barang mungkin disebabkan tindakan yang adil dan
mungkin juga disebabkan ulah orang tertentu secara tidak adil/zalim [13]
Kelangkaan minyak tanah misalnya, bisa terjadi disebabkan ulah
oknum-oknum tertentu dengan mengekspor keluar negeri, sehingga pasar minyak
tanah di dalam negeri menjadi langka.
Selanjutnya Ibnu Taymiyah menyatakan, penawaran bisa dari
produksi domestik dan impor. Terjadinya perubahan dalam penawaran, digambarkan
sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan,
sedangkan perubahan permintaan (naik atau turun), sangat ditentukan oleh selera
dan pendapatan konsumen.[14] Di sini Ibnu Taymiyah benar-benar telah
berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengruhi naik turunnnya harga.
Besar kecilnya kenaikan harga, tergantung pada besar kecilnya perubahan
penawaran atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, maka
kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah atau sunnatullah[15] (hukum supply
and demand). Adam Smith menyebutnya dengan istilah invisible
hands. Permintaan akan barang sering berubah-ubah. Perubahan itu disebabkan
beberapa faktor, antara lain besar kecilnya jumlah penawaran, jumlah orang yang
menginginkannya dan besar kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut, selera,
harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, tingkat pendapatan
perkapita, dsb.
Ibnu Taymiyah membedakan pergeseran kurva penawaran dan
permintaan, yakni tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan zalim dari penjual,
misalnya penimbunan (iktikar).
Pada mulanya, titik equilibrium terjadi pada
titik A dengan harga P1 dan jumlah Q1. Namun karena terjadi inefisiensi
produksi, maka terjadi kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh
perusahaan . Kenaikan biaya produksi ini pergeseran kurva supply dari S1
menjadi S2. Karena pergeseran ini tercipta titik equilibrium baru
pada titik B. Pada titik B ini terjadi penurunan kuantitas yang ditawarkan dari
Q1 menjadi Q2, dan pada saat yang sama terjadi kenaikan harga dari P1
menjadi P2.
Selanjutnya Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa, faktor-faktor yang
mempengaruhi harga adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan, atau
melimpahnya barang, kondisi kepercayaan dan diskonto pembayaran tunai.
Demand terhadap barang seringkali berubah. Perubahan tersebut dikarenakan
jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, dan besar kecilnya
kebutuhan terhadap barang tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu Taymiyah
telah mengasosiakan harga tinggi dengan intesnsitas kebutuhan sebagaimana
kepentingan relatif barang terhadap total kebutuhan pembeli. Jika kebutuhan
besar, harga akan naik, jika kebutuhan kecil maka harga akan turun.
Pada mulanya titik equilibrium terjadi pada saat E1 dengan harga
P1 dan kuantitas Q1. Bila permintaan terhadap barang meningkat, maka terjadi
pergreseran kurva permintaan dari D1 ke D2. Dan bila pada saat yang sama
penawaran berkurang, maka terjadi pergeseran kurva penawaran dari S1 menjadi
S2. Naiknya permintaan dan turunnnya penawaran ini menyebabkan terbentuknya
titik equilibriujm baru E2, dengan harga yang lebih tinggi P2 dan kuanytitas
yang lebih sedikit Q2.
Selanjutnya, harga juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan
terhadap orang-orang yang terlibat dalam transaksi. Bila seseorang terpercaya
dan dianggap mampu dalam membayar kredit, maka penjual akan senang melakukan
transaksi dengan orang tersebut. Tapi bila kredibilitas seseorang dalam masalah
kredit telah diragukan, maka penjual akan ragu untuk melakukan transaksi dengan
orang tersebut dan cenderung memasang harga tinggi [16] Selanjutnya Ibnu Taymiyah memaparkan
kredit dengan penjualan dan pengaruhnya terhadap harga. Ketika memetapkan
harga, penjual memperhitungkan resiko dan ketidakpastian pembayaran pada masa
mendatang. Ia juga menjelaskan kemungkinan penjual menawarkan diskon untuk
transaksi tunai. Argumen Ibnu Taymiyah, bukan hanya menunjukkan kesadarannya
mengenai kekuatan penawaran dan permintaan, melainkan juga perhatiannya terhadap
intensif, disinsentif, ketidakpastian dan resiko yang terlibat dalam transaksi
terhadap analisis ekonomi, tidak saja bagi orang yang hidup di zaman Ibnu
Taymiyah, tetapi juga pada masa kini.
Ibnu Taymiyah menentang adanya intervensi pemerintah dengan peraturan
yang berlebihan saat kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga
yang kompetitif. Dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna, ia
merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga
yang lebih tinggi dibandingkan harga modal, padahal orang membutuhkan barang
itu, maka penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen(Ibnu
Taymiyah, Al-Hisbah Fil Islam, p. 25). Secara kebetulan, konsep ini
bersinonim dengan apa yang disebut dengan harga yang adil.
Lebih jauh, bila ada unsur-unsur monopoli (khususnya dalam
pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), pemerintah harus
melarang kekuatan monopoli. Maka dalam hal ini, intervensi pemerintah menjadi
keharusan.
Seperti yang telah disebutkan, ketentuan ini hanya berlaku jika
pasar dalam keadaan normal/adil. Akan tetapi apabila pasar tidak dalam keadaan
sehat atau terjadi di dalamnya tindak kezaliman, seperti adanya kasus
penimbunan, monopoli, riba, penipuan, dan lain-lain. maka menurut pandangan Ibn
Taimiyah, di sinilah letak peranan pemerintah yang sangat urgen untuk melakukan
regulasi harga pada tingkat yang adil antara produsen dan konsumen, dengan
tidak ada pihak yang dirugikan atau diekploitasi kepentingannya oleh pihak
lain. Jelaslah di sini, bahwa menurut konsep Ibn Taimiyah, pemerintah hanya
memiliki kewenangan menetapkan harga apabila terjadi praktek kezaliman di dalam
pasar. Sedangkan di dalam pasar yang adil (sehat), harga diserahkan kepada
mekanisme pasar atau tergantung pada kekuatan supply dan demand. [17]
Al-Ghazali
Kalau Ibnu Taymiyah, yang hidup lima ratus tahun sebelum Adam
Smith, sudah membicarakan teori harga, ternyata al-Ghazali (1058-1111) yang
hidup tujuh ratus tahun sebelum Smith, juga telah membicarakan mekanisme pasar
yang mencakup teori harga dan konsep supply and demand.
Memang, bila diteliti kajian-kajian ilmuwan muslim klasik, kita
bisa berdecak kagum melihat majunya pemikiran mereka dalam ekonomi Islam, jauh
sebelum ilmuwan Barat mengembangkannya.
Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, juga telah membahas secara
detail peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak
sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan. Menurutnya, pasar merupakan
bagian dari keteraturan alami.
Walaupun al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam
terminologi modern, beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk
kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran “yang naik
dari kiri bawah ke kanan atas”, dinyatakan dalam kalimat, “Jika petani
tidak mendapatkan pembeli barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang
lebih murah [18]. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut.
Pada tingkat harga P1 jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual
adalah sebesar Qs1, sementara jumlah barang yang diminta hanya sebesar Q1.
Dengan demikian, petani tidak mendapatkan cukup pembeli. Untuk mendapatkan
tambahan pembeli ia menurunkan harga jual produknya, dari P1 menjadi P2, sehingga
jumlah pembelinya naik dari Q1 menjadi Q2.
Sementara untuk kurva permintaan, “yang turun dari atas ke kanan
bawah, dijelaskan dengan kalimat, harga dapat diturunkan dengan mengurangi
permintaan [19]
Awalnya harga yanag diminta petani adalah sebesar P1. Pada harga
ini jumlah permintaan dan penawaran terhadap harga produk petani tersebut
adalah sebesar Q1. Dengan menurunnnya jumlah permintaan dari Q1 menjadi hanya
sebesar Q2 (yakni dengan bergesernya kurva permintaan D1 ke kiri bawah menjadi
kurva D2, maka tingkat harga akan turun pula dari P1 menjadi P2. Dengan
demikian, harga dapar diturunkan dengan mengurangi permintaan.
Pemikiran al-Ghazali tentang hukum supply and demand,
untuk konteks zamannya cukup maju dan mengejutkan dan tampaknya dia paham betul
tentang konsep elastisitas permintaan. Ia menegaskan, “Mengurangi margin
keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah, akan meningkatkan volume
penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Bahkan ia telah
pula mengidentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva
permintaan yang inelastis. Komentarnya, “karena makanan adalah kebutuhan pokok,
maka perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong agar tidak semata
dalam mencari keuntungan. Dalam bisnis makanan pokok harus dihindari
eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar.
Keuntungan semacam ini seharusnya dicari dari barang-barang yang bukan
merupakan kebutuhan pokok.[20]
Imam al-Ghazali, sebagaimana ilmuwan muslim lainnya dalam
membicarakan harga selalu mengkaitkannya dengaan keuntungan. Dia belum
mengkaitkan harga barang dengan pendapatan dan biaya-biaya.
Bagi al-Ghazali, keuntungan (ribh), merupakan kompensasi
dari kesulitan perjalanan, resiko bisnis dan ancaman keselamatan si pedagang[21]. Meskipun al-Ghazali menyebut keuntungan
dalam tulisannya, tetapi kita bisa paham, bahwa yang dimaksudkannya adalah
harga. Artinya, harga bisa dipengaruhi oleh keamanan perjalanan, resiko, dsb.
Perjalanan yang aman akan mendorong masuknya barang impor dan menimbulkan
peningkatan penawaran, akibatnya harga menjadi turun. Demikian pula sebaliknya.
Dalam kajian ini perlu ditambahkan sedikit pemikiran al-Ghazali
mengenai konsep keuntungan dalam Islam. Menurutnya, motif berdagang adalah
mencari keuntungan. Tetapi ia tidak setuju dengan keuntungan yang besar sebagai
motif berdagang, sebagaimana yang diajarkan kapitalisme. Al-Ghazali dengan
tegas menyebutkan bahwa keuntungan bisnis yang ingin dicapai seorang
pedagang adalah keuntungan dunia akhirat, bukan keuntungan dunia saja.
Yang dimaksud dengan keuntungan akhirat agaknya adalah, Pertama, harga
yang dipatok si penjual tidak boleh berlipat ganda dari modal, sehingga
memberatkan konsumen, Kedua, berdagang adalah bagian dari realisasi ta’awun (tolong
menolong) yang dianjurkan Islam. Pedagang mendapat untung sedangkan konsumen
mendapatkan kebutuhan yang dihajatkannya. Ketiga, berdagang dengan
mematuhi etika ekonomi Islami, merupakan aplikasi syari`ah, maka ia dinilai
sebagai ibadah.
Ibnu Khaldun
Selain, Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah dan al-Ghazali, intelektual
muslim yang juga membahas teori harga adalah Ibnu Khaldun. Di dalam Al-Muqaddimah,
ia menulis secara khusus bab yang berjudul, “Harga-harga di Kota”. Ia membagi
jenis barang kepada dua macam, pertama, barang kebutuhan pokok, kedua barang
mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah, maka
pengadaan barang-barang kebutuhan pokok mendapat prioritas, sehingga penawaran
meningkat dan akibatnya harga menjadi turun. Sedangkan untuk barang-barang
mewah, permintaannya akan meningkat, sejalan dengan perkembangan kota dan
berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah menjadi naik.[22]
Keterangan Gambar : Supply bahan pokok
penduduk kota besar (QS2), jauh lebih besar daripada supply bahan
pokok penduduk kota kecil Qs1. Menutut Ibnu Khaldun, penduduk kota
besar memiliki supply bahan pokok yang melebihi kebutuhannya
sehingga harga bahan pokok di kota besar realtif lebih murah (P2).
Sementara itu supply bahan pokok di kota kecil, realtif kecil,
karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan sehingga harganya lebih mahal
(P1)
Yang menjadi catatan disini, adalah bahwa Ibnu Khaldun juga
telah membahas teori supply and demand sebagaimana Al-Ghazali dan
Ibnu Taymiyah.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan mekanisme penawaran dan
permintan dalam menentukan harga keseimbangan. Pada sisi permintaan demand, ia
memaparkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang.
Sedngkan pada sisi penawaran (supply) ia menjelaskan pula
pengaruh meningkatnyaa biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain
dikota tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan pengaruh naik turunnya penawaran
terhadap harga. Menurutnya, ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka
harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antara kota dekat dan amam, maka akan
banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan
harga-harga akan turun Paparan itu menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun sebagaimana
Ibnu Taymiyah telah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai
penentu keseimbangan harga.
Masih berkaitan dengan teori supply and demand, Ibnu
Khaldun menjelaskan secara lebih detail. Menurutnya keuntungan yang wajar akan
mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah, akan
membuat lesu perdagangan, karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya bila
pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu
perdagangan, karena lemahnya permintaan (demand) konsumen.
Apabila dibandingkan dengan Ibnu Taymiyah yang tidak menggunakan
istilah persaingan, Ibnu Khaldun menjelaskan secara eksplisit elemen-elemen
persaingan. Bahkan ia juga menjelaskan secara eksplisit jenis-jenis biaya yang
membentuk kurva penawaran, sedangkan Ibnu Taymiyah menjelaskannya secara
implisit saja.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengamati fenomena tinggi rendahnya
harga diberbagai negara, tanpa mengajukan konsep apapun tentang kebijakan
kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu Khaldun dengan Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun
lebih fokus pada penjelasan fenomena aktual yang terjadi, sedangkan Ibnu
Taymiyah lebih fokus pada solusi kebijakan untuk menyikapi fenomena yang
terjadi.
Oleh karena itu, terlihat bahwa Ibnu Taymiyah tidak menjelaskan
secara rincih pengaruh turun-naiknya permintaan dan penawaran terhadap harga
keseimbangan. Ia hanya menjelaskan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan
intervensi harga dengan menentukan harga selama mekanisme pasar berjalan
normal. Bila mekanisme pasar berjalan normal, pemerintah dianjurkan melakukan
kontrol harga
Berdasarkan kajian para ulama klasik tentang mekanisme pasar,
maka Muhammad Najatullah Shiddiqi, dalam buku The Economic Entreprise
in Islam, menulis,
“Sistem pasar di bawah pengaruh semangat Islam berdasarkan dua
asumsi,….Asumsi itu adalah rasionalitas ekonomi dan persaingan sempurna.
Berdasarkan asumsi ini, sistem pasar di bawah pengaruh semangat Islam dapat
dianggap sempurna. Sistem ini menggambarkan keselarasan antar kepentingan para
konsumen.”[23]
Yang dimaksud dengan rasionalitas ekonomi, adalah upaya-upaya
yang dilakukan oleh produsen (penjual) dan konsumen (pembeli) dalam rangka
memaksimumkan kepuasannya masing-masing. Pencapaian terhadap kepuasan
sebagaimana tersebut tentunya haruslah diproses dan ditindak lanjuti secara
berkesinambungan, dan masing-masing pihak hendaknya mengetahui dengan jelas apa
dan bagaimana keputusan yang harus diambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi
tersebut.[24]
Sedangkan persaingan sempurna ialah munculnya sebanyak mungkin
konsumen dan produser di pasar, barang yang ada bersifat heterogen (sangat
variatif) dan faktor produksi bergerak secara bebas. Adalah satu hal yang sulit
bagi kedua asumsi tersebut untuk direalisasikan dalam kenyataan di pasar.[25] Namun demikian, Islam memiliki norma
tertentu dalam hal mekanisme pasar.
Menurut pandangan Islam yang diperlukan adalah suatu regulasi
secara benar serta dibentuknya suatu sistem kerja yang bersifat produktif dan
adil demi terwujudnya pasar yang normal. Sifat produktif itu hendaklah
dilandasi oleh sikap dan niat yang baik guna terbentuknya pasar yang adil.
Dengan demikian, model dan pola yang dikehendaki adalah sistem operasional
pasar yang normal. Dalam hal ini Muhammad Nejatullah ash Shiddiqi menyimpulkan
bahwa ciri-ciri penting pendekatan Islam dalam hal mekanisme pasar adalah:
1. Penyelesaian masalah ekonomi yang asasi
(konsumsi, produksi, dan distribusi), dikenal sebagai tujuan mekanisme
pasar.
1. Dengan berpedoman pada ajaran Islam, para
konsumen diharapkan bertingkah laku sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga
dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas.
1. Jika perlu, campur tangan negara sangat urgen
diberlakukan untuk normalisasi dan memperbaiki mekanisme pasar yang rusak.
Sebab negara adalah penjamin terwujudnya mekanisme pasar yang normal[26].
Intervensi Pemerintah
Menurut Islam negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi)
dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk
mengawasi kegiatan ini maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam
kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh individu-individu.
Keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi pada permulaan Islam sangat kurang,
karena masih sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu, selain itu
disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum muslimin
pada masa-masa permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung
perintah-perintah syariat dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka
dari penipuan dan kesalahan. Semua ini mengurangi kesempatan negara untuk ikut
campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi.[27]
Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung
menampakkan komleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan
ekonomi. Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi)
negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka melindungi hak-hka
rakyat/masyarakat luas dari ancaman kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan
untuk kepentingn manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi
negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan:
Menghilangkan kemiskinan. Menurut Ibnu Taimiyah, menghapuskan
kemiskinan merupakan kewajiban negara. Beliau tidak memuji adanya kemiskinan.
Dalam pandangannnya, seseorang harsu hidup sejahtera dan tidak tergantung pada
orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya dan keharusan
agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk agar mampu
mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan daftar
pengeluaran publik dari sebuah negara, ia menulis:
“Merupakan sebuah konsensus umum bahwa siapa pun yang tak mampu
memperoleh penghasilan yang tidak mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang,
agar mampu memenuhi kebutuhannnya sendiri, tak ada perbedaan apakah mereka itu
para peminta-minta atau tentara, pedagang, buruh ataupun petani. Pengeluaran
untuk kepentingan orang miskin (sedekah) tak hanya berlaku secara khusus bagi
orang tertentu. Misalnya seorang tukang yang memiliki kesempatan kerja, tetapi
hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannnya. Atau anggota tentara
yang hasil tanah garapannya (iqta’) tak mencukupi
kebutuhannya. Semuanya berhak atas bantuan sedekah”. [28]
Regulasi harga dan pasar
Sebagaimana yang telah dibahas di awal, bahwa masalah pengawasan
atas harga muncul pada masa Rasulullah SAW sendiri sebagaimana yang telah
diceritakan dalam hadits bahwa Rasulullah menolak menetapkan harga. Beliau
menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan. Dialah
yang membuat harga berubah dan membuat harga yang sebenarnya (musa’ir). Saya
berdoa agar Allah tak membiarkan ketidakadilan menimpa atas seseorang dalam
darah atau hak miliknya”.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari
mazhab Hambali mengatakan: “Imam (pemimpin pemerintahan) tidak memiliki
wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual
barang-barang mereka dengan harga berapa pun yang mereka sukai”. Ibnu Qudamah
mengutip hadits tersebut di atas dan memberikan dua alasan tidak diperkenalkan
mengatur/menetapkan harga. Pertama: Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan
harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu dibolehkan, pastilah
Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua: menetapkan harga adalah suatu
ketidakadilan (kezaliman) yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang,
yang di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapa pun,
asal ia bersepakat dengan pemiliknya.[29]
Ibnu Qudamah selanjutnya mengatakan bahwa ini sangat nyata
apabila adanya penetapan, dan regulasi serta pengawasan harta dari pihak
pemerintahan akan mendorong terjadinya kenaikan harga-harga barang semakin
melambung (mahal). Sebab jika para pedagang dari luar mendengar adanya
kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dengannya ke
suatu wilayah dimana ia dipaksa menjual barang dagangannya diluar harga yang
diinginkan. Dan para pedagang lokal, yang memiliki barang dagangan akan
menyembunyikan barang dagangannya. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta
barang-barang dagangan dengan tidak dipuaskan keinginannya, karena harganya melonjak
mahal/tinggi. Harga akan meningkat dan kedua belah pihak menderita. Para
penjual akan menderita karena dibatasi menjual barang dagangan mereka, dan para
pembeli menderita karena keinginan mereka tak bisa dipenuhi dan dipuaskan.
Inilah alasan mengapa Ibnu Qudamah melarang regulasi harga oleh pemerintah. [30]
Negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga dan menetapkan
besarnya upah pekerja, demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai
pengawasan harga dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya penduduk
bebas menjual barang-barang mereka pada tingkat harga yang mereka sukai.
Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan ketidakadilan dan
menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan menahan diri dari
penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual
dengan harga terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot yang akan
berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya
kondisi yang bertentangan dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar
memburuk yang akan merugikan konsumen. Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi
karena unsur kezaliman, akan berakibat ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar.
Usaha memproteksi konsumen tak mungkin dilakukan tanpa melalui penetapan harga,
dan negaralah yang berkompeten untuk melakukannya. Namun, penetapan harga tak
boleh dilakukan sewenang-wenang, harus ditetapkan melalui musyawarah. Harga
ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh semua pihak dan
akibat buruk dari penetapan harga itu harus dihindari.[31]
.
Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk
memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi kebijakan moneter bisa pula
mengancam tujuan itu, negara bertanggungjawab untuk mengontrol ekspansi mata
uang dan untuk mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua masalah pokok ini
bisa mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin
menghindari anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak
terbatas, sebab akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan
ketidakpercayaan publik atas mata uang yang bersangkutan. Mata uang koin yang
terbuat dari selain emas dan perak, juga bisa menjadi penentu harga pasar atau
alat nilai tukar barang. Karena itu otoritas ekonomi (negara) harus
mengeluarkan mata uang berdasarkan nilai yang adil dan tak pernah mengeluarkan
mata uang untuk tujuan bisnis. Ibnu taimiyah sangat jelas memegang pandangan
pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai
sebagai pengukur harga dan alat pertukaran. Setiap upaya yang merusak
fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk bagi ekonomi. [32]
Peranan Lembaga Hisbah
Lembaga yang bertugas dalam melakukan kontrol harga disebut
dengan hisbah. Rasulullah, sebagaimana dijelaskan diawal,
memandang penting arti dan peran lembaga hisbah (pengawasan
pasar). Para muhtasib (orang-orang yang duduk di lembaga
hisbah), pada masa Rasul sering melakukan inspeksi ke pasar-pasar. Tujuan
utamanya untuk mengontrol situasi harga yang sedang berkembang, apakah normal
atau terjadi lonjakan harga, apakah terjadi karena kelangkaan barang atau
faktor lain yang tidak wajar. Dari inspeksi ini tim pengawas mendapatkan data
obyektif yang bisa ditindak lanjuti sebagai respons. Jika terjadi kelonjakan
harga akibat keterbatasan pasok barang, maka tim pengawasan memberikan
masukan kepada rasulullah dengan target utama untuk segera memenuhi tingkat
penawaran, agar segera tercipta harga seimbang. Namun, tim inspeksi juga tidak
akan menutupi bahwa jika faktor kelonjakan harga karena faktor lain (mungkin
penimbunan, ihtikar maka rasulullah langsung mengingatkan agar tidak melakukan praktek
perdagangan yang merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Terjunnya
Rasulullah Saw, segera direspons positif dalam bentuk penurunan harga.
Sementara pedagang Yahudi dan paganis ada tidak berdaya menolak imbauan Rasul.
Dari realitas itu terlihat bahwa lembaga hisbah sejak masa nabi cukup efektif
dalam membangun dinamika harga yang di satu sisi memperhatikan kepentingan
masyarakat konsumen dan di sisi lain tetap menumbuhkan semangat perniagaan para
pelaku ekonomi di pasar-pasar itu.
Setelah Rasulullah Saw wafat, peranan lembaga hisbah diteruskan
oleh Khulafaur Rasyidin. Bahkan ketika khalifah Umar, lembaga hisbah lebih
agersif lagi. Hal ini didasarkan oleh perkembangan populasi yang memaksa
pusat-pusat perbelanjaan juga meningkat jumlahnya. Apabila kondisi ini tidak
diantisipasi dengan sistem kontrol yang ketat dan bijak, akan menjadi
potensi ketidak seimbangan harga yang tentu merugikan masyarakat
konsumen.
Menyadari potensi resiko ini, para khalifah yang empat memandang
penting peran lembaga hisbah. Sejarah mencatat bahwa pada masa khalifah yang
empat, masalah harga dapat dikontrol dan pada barang tertentu dapat dipatok
dengan angka minimum-maksimum yang wajar. Maknanya, di satu sisi, kepentingan
konsumen tetap dilindungi, dan di sisi lain, kepentingan kaum pedagang tetap
diberi kesempatan mencari untung, tetapi dirancang untuk menjauhi sikap
eksploitaasi dan kecurangan.
Yang perlu dicatat, adalah keberhasilan lembaga hisbah dalam
kontrol harga dan pematokan harga wajar (normal). Keberhasilan ini disebabkan
efektifitas kerja tim lembaga hisbah yang commited terhadap
missi dan tugas pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh anggota
tim untuk melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).
Lebih lanjut di dalam salah satu bagian dari bukunya “Fatawa”,
Ibn Taimiyah mencatat beberapa hal menyangkut persoalan harga di dalam pasar,
hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi demand dan supply sebagai
berikut :
1. Keinginan konsumen (raghbah) terhadap
jenis barang yang beraneka ragam atau sesekali berubah. Keinginan tersebut
karena limbah ruahnya jenis barang yang ada atau perubahan yang terjadi karena
kelangkaan barang yang diminta (mathlub). Sebuah barang sangat
diinginkan jika ketersediaannya berlimpah, dan tentu akan berpengaruh terhadap
naiknya harga.
2. Perubahan harga juga tergantung pada jumlah
para konsumen. Jika jumlah para konsumen dalam satu jenis barang dagangan
itu banyak maka harga akan naik, dan terjadi sebaliknya harga akan turun jika
jumlah permintaan kecil.
3. Harga akan dipengaruhi juga oleh menguatnya
atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang karena meluasnya jumlah dan
ukuran dari kebutuhan, bagaimanapun besar ataupun kecilnya. Jika kebutuhan
tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan
kebutuhan itu kecil atau lemah.
4. Harga juga berubah-ubah sesuai dengan siapa
pertukaran itu dilakukan (kualitas pelangan). Jika ia kaya dan dijamin
membayar hutang, harga yang rendah bisa diterima olehnya, dibanding dengan
orang lain yang diketahui sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran atau
diragukan kemampuan membayarnya.
5. Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk alat
pembayaran (uang) yang digunakan dalam jual beli. Jika yang deigunakan umum dipakai,
harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada di
peredaran.
6. Suatu obyek penjualan (barang), dalam satu
waktu tersedia secara fisik dan pada waktu lain terkadang tidaj tersedia. Jika
obyek penjualan tersedia, harga akan lebih murah ketimbang jika tidak tersedia.
Kondisi yang sama juga berlaku bagi pembeli yang sesekali mampu membayar kontan
karena mempunyai uang, tetapi sesekali ia tak memiliki dan ingin
menangguhnkannya agar bisa membayar. Maka harga yang diberikan pada pembayaran
kontan tentunya akan lebih murah dibanding sebaliknya.
Sumber:
https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/mekanisme-pasar-dalam-perspektif-ekonomi-islam/
http://unimus.ac.id/?page_id=84
0 komentar: