SISTEM KEPEMILIKAN PRIDADI DALAM ISLAM (EKONOMI ISLAM)
0
Pengampu
: R.Ery Wibowo Agus S
Di
Susun Oleh:
1. Amanda
Erika Prakasiwi (E2A015023)
2. Fransiska
Novita Maria Santika (E2A015022)
3. Mery
Avita Candravoni (E2B015021)
4. Devi
Ima Zeni Lestari (E2B015023)
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2016/2017
v Pengertian
kepemilikan
Kepemilikan berasal dari bahasa
Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab
"milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau
harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara
hukum. Kepemilikan merupakan ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan
syariah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik
sehingga ia mempunyai hak untuk menggunakan barang tersebut sejauh tidak
melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah.
Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang
ada; adalah Allah SWT, manusia dalam hal ini hanya di titipkan untuk sementara
saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat di ambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab
itu kepemilikan mutlak atas harta tidak di akui dalam islam. Sebagaimana
terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 284:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada did al;m hati mu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmun itu. Maka Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siap yang dikehendaki-Nya, dan Alllah Mahakuasa atas segala sesuatu”
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada did al;m hati mu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmun itu. Maka Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siap yang dikehendaki-Nya, dan Alllah Mahakuasa atas segala sesuatu”
Manusia
adalah khalifah atas harta miliknya, hal ini dijelasakan dalam QS. Al-Hadiid
ayat 7: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamun menguasainya. Maka
orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar”
Dari dua ayat tersebut
dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa konsep kepemilikan dan harta dalam islam
tidak mengenal kepemilikan yang mutlak sebagaimana yang terdapat dalam konsep
ekonomi konvensional. Harta yang dimiliki merupakan suatu ujian bagi manusia,
agar manusia selalu mengingat nikmat Allah SWT atas karunia yang telah
diberikan. Sebagaimana yang telah tercantum di atas , kepemilikan dalam Islam
bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di
sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya
bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam,
yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik
Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki
oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu
"diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan
pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan
yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah.
kepemilikan dalam islam
terbagai atas dua, yakni; Allah SWT sebagai pemilik mutlak alam semesta dan
manusia sebagai khalifah di muka bumi menerima titipan dari Allah SWT.
Kepemilikan manusia terbagi atas: kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan
kepemilikan negara. Kepemilikan tersebut di akui dalam islam, selama dalam
proses memperolehnya dan pemanfaatannya tidak bertentangan dengan aturan
syariah. Namun apabila bertentangan dengan aturan syariah, maka gugurlah
kepemilikan tersebut. Kepemilikan
pribadi merupakan hak milik individu yang mendasar,
bersifat permanen, penting, melekat pada eksistensi manusia dan
bukan merupakan fenomena sementara. Kepemilikan di peroleh melalui
bekerja, warisan hibah dan lain sebagainya. Hak milik individu tidaklah mutlak,
tetapi dibatasi oleh kewajiban yang dibawanya. Kewajiban ini antara lain
Individu dapat menikmati hak-haknya, tetapi ia juga mempunyai kewajiban
tertentu terhadap masyarakat. Individu harus membuktikan bahwa ia hanyalah
perwakilan dalam memegang harta, yang sebenarnya merupakan milik Allah SWT.
Kepemilikan individu dalam islam memiliki tanggung jawab terhadap kemaslahatan ummat dan berusaha untuk mewujudkan maqashid as-syariah. Hal ini berbeda dengan konsep konvensional mengenai kepemilikan pribadi. Pada sistem konvensional khususnya kapitalis kepemilikan pribadi merupakan hak yang sangat mutlak di miliki oleh individu. Dalam memperoleh hak kepemilikan pribadi, individu tersebut tidak berdasarkan aturan-aturan syariah. Selama menguntungkan dan tidak merugikan individu, maka di perbolehkan. Sedangkan pada sistem komunis, kepemilikan individu tidak di akui, yang di akui adalah kepemilikan negara. Individu hanya menerima pemberian dari negara, negara yang mengatur semuanya. Konsep kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam ini berbeda dengan barang publik (public goods) dalam konteks Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, barang publik adalah barang yang memberikan manfaat menyebar ke seluruh masyarakat terlepas apakah individu yang ada di masyarakat menginginkannya atau tidak (Samuleson dan Nordhaus: 1997: 365). Jadi barang publik dilihat dari sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan dilihat dari barang tersebut milik umum atau tidak sehingga barang publik konteks ini bisa saja dimiliki pemerintah atau swasta tergantung siapa yang mengadakan barang publik tersebut. Kepemilikan umum atau kolektif dimungkinkan dalam ajaran islam, yaitu jika suatu benda memang pemanfaatannya diperuntukan bagi masyarakat umum karakteristik barang yang merupakan hak milik umum, seperti:
Merupakan fasilitas umum, dimana jika benda ini tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
Pemilikan umum merupakan pemilikan yang merupakan milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan ataupun perusahaan. Pengelolaan pemilikan umum diwakilkan kepada negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (men-jual-belikannya) adalah haram” (HR Abu Dawud). Begitu juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun) adalah air, padang rumput dan api” (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan hal ini, air (laut, sungai, danau, dll), padang rumput (hutan), dan api (bahan bakar minyak, batu bara, gas, listrik, dan sumber energi lainnya) merupakan milik bersama.
Karenanya, termasuk dalam pemilikan umum. Kata 'berserikat (syuroka)' menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi, "Tariklah tambang tersebut darinya." Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah 'bagaikan air mengalir'.
Kepemilikan individu dalam islam memiliki tanggung jawab terhadap kemaslahatan ummat dan berusaha untuk mewujudkan maqashid as-syariah. Hal ini berbeda dengan konsep konvensional mengenai kepemilikan pribadi. Pada sistem konvensional khususnya kapitalis kepemilikan pribadi merupakan hak yang sangat mutlak di miliki oleh individu. Dalam memperoleh hak kepemilikan pribadi, individu tersebut tidak berdasarkan aturan-aturan syariah. Selama menguntungkan dan tidak merugikan individu, maka di perbolehkan. Sedangkan pada sistem komunis, kepemilikan individu tidak di akui, yang di akui adalah kepemilikan negara. Individu hanya menerima pemberian dari negara, negara yang mengatur semuanya. Konsep kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam ini berbeda dengan barang publik (public goods) dalam konteks Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, barang publik adalah barang yang memberikan manfaat menyebar ke seluruh masyarakat terlepas apakah individu yang ada di masyarakat menginginkannya atau tidak (Samuleson dan Nordhaus: 1997: 365). Jadi barang publik dilihat dari sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan dilihat dari barang tersebut milik umum atau tidak sehingga barang publik konteks ini bisa saja dimiliki pemerintah atau swasta tergantung siapa yang mengadakan barang publik tersebut. Kepemilikan umum atau kolektif dimungkinkan dalam ajaran islam, yaitu jika suatu benda memang pemanfaatannya diperuntukan bagi masyarakat umum karakteristik barang yang merupakan hak milik umum, seperti:
Merupakan fasilitas umum, dimana jika benda ini tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
Pemilikan umum merupakan pemilikan yang merupakan milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan ataupun perusahaan. Pengelolaan pemilikan umum diwakilkan kepada negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (men-jual-belikannya) adalah haram” (HR Abu Dawud). Begitu juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun) adalah air, padang rumput dan api” (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan hal ini, air (laut, sungai, danau, dll), padang rumput (hutan), dan api (bahan bakar minyak, batu bara, gas, listrik, dan sumber energi lainnya) merupakan milik bersama.
Karenanya, termasuk dalam pemilikan umum. Kata 'berserikat (syuroka)' menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi, "Tariklah tambang tersebut darinya." Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah 'bagaikan air mengalir'.
0 komentar: